BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Manfaat sinar matahari bagi kehidupan sangat banyak. Namun sinar matahari juga mempunyai efek yang sangat merugikan bagi kulit, terutama spektrum sinar ultravioletnya yang dapat menyebabkan eritema (kemerahan) pada kulit, pigmentasi yang berlebihan, penebalan sel tanduk, dan aging (penuaan kulit). Sengatan matahari yang berlebihan juga dapat menyebabkan kelainan kulit mulai dari dermatitis ringan sampai kanker kulit (Depkes RI, 1985; Kligman, 1985; Kreps dan Goldenberg, 1972; Harry, 1952).
Solusi pencegahan terjadinya gangguan kulit akibat pancaran sinar matahari dan menanggulangi bahaya ultraviolet (UV) bagi kulit adalah menggunakan senyawa tabir surya guna menyaring sinar UV berbahaya sebelum menembus kulit. Berdasarkan klasifikasi, sinar radiasi UV digolongkan tiga bagian yaitu senyawa tabir surya tipe A (menyerap sinar UV pada panjang 315-400 nm), tipe B (menyerap sinar UV pada panjang 290-315 nm), tipe C (menyerap sinar UV pada panjang 200-290 nm) (Kimbrough, 1997; Harry, 1982).
Bahan tabir surya dapat diperoleh secara sintetik maupun secara alami. Bahan tabir surya sintetik yang sering digunakan dalam sediaan tabir surya sebagai pengeblok fisik dan kimia. Untuk pengeblok fisik misalnya TiO2, ZnO, sedangkan pengeblok kimia sebagai inti UV A seperti benzofenol, turunan antranilat, dan sebagai anti UV B seperti turunan amino benzoat turunan kamfor, salisilat, dan turunan sinamat, misalnya 2-etoksi etil p-metoksisinamat, 2-etil heksil p-metoksisinamat (Martindale,1989).
Kandungan tabir surya bahan aktif mampu melindungi kulit terhadap paparan UV. Pertama, golongan sinamat (2-etil heksil p-metoksisinamat) dan kuinon (benzokinon) mampu melapisi kulit sehingga paparan sinar UV tidak diserap kulit. Dan kedua, golongan oksida yaitu Titanium oksida dan Seng Oksida yang mampu memantulkan sinar UV yang mencapai kulit khususnya UV B. Kedua bahan ini dikombinasi agar kedua mekanisme penghambatan UV ke kulit dapat tercapai (Tanjung, 1999).
2-etil heksil p-metoksisinamat paling banyak digunakan untuk menyerap sinar UV. Selain untuk menyerap UV, 2-etil heksil p-metoksisinamat juga berfungsi untuk menyerap sinar matahari secara nyata pada rentang panjang gelombang 270 – 328 nm pada daerah radiasi UV A dan UV B. Berdasarkan spektrum yang dihasilkan, 2-etil heksil p-metokssinamat dapat digunakan untuk melindungi kulit dari paparan sinar matahari (Hidajati, 1997).
Lempung merupakan bahan alam yang relatif banyak terdapat di Indonesia. Lempung alam di Indonesia didominasi oleh kelompok monmorilonit yang mudah menyerap air. Monmorilonit ini memiliki luas permukaan yang besar dan kapasitas penukar kation yang baik, maka antar lapis monmorilonit dapat disisipi dengan suatu bahan lain seperti senyawa organik atau oksida logam guna memperoleh suatu bentuk komposit yang sifat fisik dan kimianya berbeda dengan lempung sebelum dimodifikasi. Sifat fisik dan kimia tersebut merupakan bagian yang penting pada setiap karakterisasi lempung baik sebagai katalis, pendukung katalis, maupun adsorben (Wijaya, 2008).
Bentonit merupakan mineral dengan kandungan utama monmorilonit kurang lebih 85% yang memiliki kemampuan menyerap ion logam dan molekul organik dari dalam larutan serta struktur berbentuk lapisan-lapisan bertumpuk (layer) dan mempunyai rumus kimia Al2O3.4SiO2 x H2O. Monmorilonit sangat menarik untuk diteliti karena mempunyai struktur berlapis dengan kemampuan mengembang karena ruang antar lapis (interlayer) yang dimilikinya dan dapat mengakomodasi ion-ion atau molekul terhidrat dengan ukuran tertentu serta memiliki kation-kation yang dapat ditukarkan (katti dan katti, 2001).
Berdasarkan tipenya, bentonit dibagi menjadi dua. Pertama, tipe Wyoming (Na-bentonit – Swelling bentonite) mengandung ion Na+ relatif lebih banyak jika dibandingkan dengan ion (Ca2+ dan Mg2+). Mempunyai sifat mengembang jika dicelupkan dalam air hingga 8 kali lipat dari volume semula. Kandungan Na2O dalam Na-bentonit umumnya lebih besar dari 2%. Kedua, Mg (Ca-bentonit – non swelling bentonite) mengandung kalsium (K2O) dan magnesium (MgO) lebih banyak dibanding dengan natriumnya, mempunyai sifat sedikit menyerap air sehingga jika didipersikan dalam air akan cepat mengendap. Daya tukar ion (KTK) cukup besar dan bersifat menyerap (Labaik, 2006)
Kemampuan adsorpsi monmorilonit ditingkatkan dengan proses pilarisasi. Pilarisasi merupakan proses pemanasan interkalat yaitu hasil proses penyisipan ion atau molekul ke dalam interlayer. Akibat adanya pilar yang terbentuk pada lapisan bentonit ini akan menjadikan bentonit lebih stabil dan tidak mudah mengalami swelling (Budhyantoro, 2003). Lempung terpilar memiliki beberapa kelebihan, yaitu stabilitas termal yang lebih tinggi, volume pori lebih besar, dan luas permukaan yang lebih besar pula. Adanya sifat unggul dari lempung terpilar menjadikan material tersebut potensial untuk digunakan sebagai adsorben.
Monmorilonit diinterkalasikan dengan polikation hidroksi merupakan salah satu cara proses pilarisasi. Selanjutnya dikalsinasi sehingga membentuk pilar-pilar oksida logam (Sunarso, 2007). Salah satu kation yang dapat digunakan sebagai agen pemilar adalah ion Ti4+. Ion Ti4+ dalam persenyawaannya dengan oksigen (TiO2) juga merupakan salah satu bahan aktif tabir surya yang bekerja secara fisik, yaitu memantulkan kembali sinar UV sehingga permukaan kulit terlindungi (Hery, 2002).
Pengaruh stabilitas bentonit dengan senyawa tabir surya dapat diketahui dengan melakukan pilarisasi terhadap bentonit pada suhu kalsinasi yang berbeda. Panjang gelombang serapan UV senyawa tabir surya adalah 280-360 nm, sedangkan 2-etil heksil p-metoksisinamat 270 - 328 nm, sehingga bentonit terpilar Ti4+ juga harus memiliki serapan UV yang sesuai dengan senyawa tabir surya agar keduanya dapat berinteraksi. Kestabilan bentonit terpilar dalam tabir surya ini dapat diketahui dalam jangka waktu lebih lama dari pada tabir surya tanpa bentonit terpilar Ti4+ meskipun terkena molekul air, dan penguraian senyawa tabir surya dapat diminimalkan (Shaath, 1990).
B. Rumusan Masalah
1. Berapakah suhu kalsinasi bentonit terpilar Ti4+ yang memberikan panjang gelombang UV sesuai dengan panjang gelombang senyawa tabir surya 2-etil heksil p-metoksisinamat?
2. Bagaimana kestabilan senyawa tabir surya 2-etil heksil p-metoksisinamat dalam bentonit terpilar Ti4+?
C. Tujuan Penelitian
1. Menentukan suhu kalsinasi bentonit terpilar Ti4+ yang memberikan panjang gelombang UV sesuai dengan panjang gelombang senyawa tabir surya 2-etil heksil p-metoksisinamat
2. Menguji kestabilan senyawa tabir surya 2-etil heksil p-metoksisinamat dalam bentonit terpilar Ti4+
D. Manfaat Penelitian
1. Memberikan informasi tentang pilarisasi bentonit sebagai penstabil senyawa tabir surya
2. Memberikan informasi tentang perbedaan stabilitas senyawa tabir surya 2-etil heksil p-metoksisinamat dalam bentonit terpilar Ti4+
3. Meningkatkan daya guna bentonit.
E. Definisi Operasional, Asumsi, dan Batasan Masalah
1. Definisi Operasional
a. 2-etil heksil p-metoksisinamat adalah senyawa kimia hasil sintesis dari etil p-metoksisinamat dengan 2-etil heksil alkohol yang memiliki rumus molekul C18H26O3 dan rumus struktur sebagai berikut:
b. Pilarisasi adalah suatu proses yang diawali dengan perendaman bentonit dalam Ti(OH)4 sebagai pillaring agent lalu dipanaskan (T=80oC) selama 3 jam, disaring, dan dikeringkan. Padatan yang diperoleh dikalsinasi dan diukur serapannya dengan UV.
c. Kalsinasi adalah pemanasan terhadap bentonit terpilar dengan suhu yang berbeda antara suhu 300-700oC untuk mengetahui stabilitas bentonit dengan senyawa tabir surya.
d. Adsorpsi adalah proses yang dilakukan melalui penyerapan senyawa tabir surya dalam pori bentonit terpilar Ti4+ yang guna mengisolasi senyawa tabir surya dari serangan lautan NaCl 0,01 M.
e. Senyawa tabir surya adalah senyawa kimia yang dapat menyerap sinar matahari secara efektif terutama daerah emisi gelombang UV sehingga dapat mencegah gangguan pada kulit akibat pancaran langsung sinar UV.
f. Kestabilan senyawa tabir surya adalah kemampuan senyawa tabir surya untuk bertahan lebih lama dalam menerima serangan larutan NaCl 0,01 M sehingga penguraian senyawa tabir surya dapat diminimalkan.
2. Asumsi
Dalam penelitian ini bentonit yang digunakan bersifat homogen.
3. Batasan Masalah
a. Pillaring agent yang digunakan terbatas pada konsentrasi Ti(OH)4 0,5 M.
b. Dalam penelitian ini uji kestabilan senyawa tabir surya 2-etil heksil p-metoksisinamat terhadap molekul air terbatas pada hasil spektroskopi IR dan KLT.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan tentang Senyawa Tabir Surya
Senyawa tabir surya merupakan suatu sediaan kosmetika yang berfungsi untuk menghambur, memantulkan energi sinar matahari yang mengenai kulit, dan menyerap secara efektif cahaya matahari terutama pada daerah pancaran gelombang ultraviolet guna mencegah terjadinya gangguan kulit karena matahari (Harry, 1982).
Sedangkan menurut Shaath; 1990, senyawa tabir surya adalah senyawa yang dapat melindungi kulit terhadap eritema (sunscreen UV-B) pada panjang gelombang 290-320 nm, seperti salisilat, sinamat, dan senyawa turunan asam p-amino benzoat (PABA) atau senyawa yang mampu melindungi kulit terhadap bahaya pigmentasi (sunscreen UV-A) pada panjang gelombang di atas 320 nm, seperti benzofenon dan antranilat.
1. Karakteristik Umum Senyawa Tabir Surya
Senyawa tabir surya terdiri dari senyawa aromatis yang biasanya terkonjugasi dengan gugus karbonil. Pada umumnya senyawa tabir surya adalah senyawa aromatis yang terkonjugasi oleh gugus karbonil. Pada beberapa senyawa, terdapat gugus pelepas elektron (amina atau metoksi) yang tersubtitusi pada posisi orto atau para pada cincin aromatis (Shaath, 1986).
Berikut ini adalah rumus umum salah satu contoh senyawa tabir surya :
Gambar 1. Struktur umum senyawa tabir surya
X = OH; OCH3; NH2; N (CH3)2
R = C6H4X; OH; OR’, dimana R’ = metil, amil, oktil, dll (Shaath, 1990).
Karakteristik yang harus dimiliki oleh senyawa tabir surya antara lain adalah senyawa tabir surya harus mempunyai absorbsi pada ultraviolet berkisar pada 280-360 nm, dapat mengabsorbsi radiasi UV secara maksimum, tidak dipengaruhi oleh serapan pelarut pada panjang gelombang maksimum, tidak larut atau kelarutannya kecil di dalam air, tidak toksik, tidak fototoksik, dan tidak mensensitisasi. Senyawa tabir surya harus dapat tercampurkan dengan pembawa kosmetik, mudah digunakan, dan tidak mahal (Shaath, 1990).
2. Radiasi Sinar Ultraviolet
Radiasi ultraviolet merupakan radiasi elektromagnet pada panjang gelombang antara 100-400 nm (Bunawas, 1999). Sinar matahari yang dipancarkan mengandung radiasi elektromagnetik pada rentang spektrumsinar gamma, ultraviolet, dan infra merah antara 10-1-1014 (Kerps, 1972; Lachman, 1970).
Sinar matahari yang membahayakan kulit adalah radiasi ultraviolet (UV). Berdasarkan panjang gelombangnya radiasi UV dibagi tiga, yaitu UV A (near UV), UV B (middle UV), dan UV C (far UV) (Shaath, 1990).
Sinar UVA (near UV) mempunyai rentang panjang gelombang 320-400 nm yang dikenal sebagai daerah pigmentasi dan spektrumnya disebut dengan malagonik. Spektrum ini dapat mengakibatkan warna kecoklatan pada kulit dan mencapai puncak pada serapan 340 nm (Tanjung, 1997). Radiasi sinar UV A dapat menembus kulit hingga lapisan kulit bagian dalam (lapisan dermis) yang mengakibatkan terjadinya bintik-bintik coklat pada kulit, merusak kolagen dan elastin sehingga sel-sel kulit rusak (terjadi kerutan pada kulit dan kulit menjadi kendur) (Justiana, 2003). Selain itu juga dapat menyebabkan vascular damage dengan erythemogenic yang relatif rendah serta merangsang pembentukan melanin. Pembentukan melanin bersamaan dengan penebalan lapisan tanduk (stratum korneum) yang merupakan mekanisme perlindungan kulit terhadap pengaruh radiasi UV (Price, 1996).
Sinar UV B (middle UV) mempunyai panjang gelombang 290-320 nm dikenal sebagai daerah eritema dan spektrumnya disebut erithemogenik dan mencapai puncak pada serapan 296,7 nm (Tanjung, 1997). Radiasi sinar UV B atau radiasi sunburn dapat menembus lapisan tanduk dan epidermis. Kerusakan dapat terjadi mulai dari yang ringan sampai ke bentuk yang paling berat yang disertai dengan rasa sakit, pembengkakan bahkan dapat melepuh di permukaan kulit.
Sinar UV C (far UV) mempunyai panjang gelombang 200-290 nm disebut dengan daerah germicidal. Radiasi pada daerah ini sangat berbahaya, dapat mengakibatkan kerusakan pada kulit. Radiasi ini relatif tidak mencapai bumi karena diserap ozon di atmosfer (Tanjung, 1997). Radiasi UV C dapat menyebabkan reaksi fitokimia yang dapat menyebabkan kanker kulit tetapi radiasi ini tidak sampai ke bumi karena adanya lapisan ozon.
3. Efek Radiasi Ultraviolet Terhadap Kulit
Kulit manusia terbagi menjadi tiga lapisan, yaitu lapisan tanduk (stratum corneum), epidermis, dan dermis. Radiasi sinar matahari dapat menembus kulit dengan kedalaman yang berbeda-beda bergantung pada panjang gelombangnya (Tanjung, 1999).
Kulit merupakan salah satu organ tubuh yang memiliki struktur sangat baik yang menutupi seluruh bagian tubuh dan beratnya sekitar 7% dari total berat tubuh, sehingga kulit menjadi organ tubuh yang paling besar. Diperkirakan dalam 1 cm-2 luas kulit terdiri dari 70 cm pembuluh darah, 55 cm saraf, 100 kelenjar keringat, 15 kelenjar minyak, 230 penerima rangsangan, dan sekitar 500.000 sel kulit yang secara berkala mati, dan memperbaharui.
Gambar 2. Struktur anatomi kulit (Sumber: Alatas, 1998)
Ketebalan kulit bervariasi mulai dari 1,5 sampai 4 mm atau lebih di area tubuh yang berbeda, dan mempunyai dua lapisan yang jelas. Lapisan paling luar kulit adalah lapisan epidermis, yaitu sebuah jaringan serabut yang saling berhubungan, di bawah dermis terletak hipodermis (lapisan lemak). Meskipun hipodermis biasanya tidak dipertimbangkan sebagai bagian dari kulit, jaringan ini berfungsi sedikit pada kulit. Kulit mempunyai banyak fungsi, salah satunya yaitu melindungi tubuh dari sinar matahari. Pemaparan sinar matahari berlebihan pada waktu singkat menyebabkan luka bakar. Pemaparan jangka panjang menyebabkan penebalan lapisan kulit paling atas (epidermis) dan peningkatan pembentukan pigmen (melanin) oleh sel-sel penghasil pigmen (melanosit). Melanin merupakan zat pelindung alami yang menyerap energi dari sinar ultraviolet dan mencegah masuknya sinar ke jaringan yang lebih dalam.
Sumber matahari merupakan sumber radiasi ultraviolet yang bisa merusak sel-sel tubuh. Radiasi UV mendorong terjadinya pigmentasi yang menyebabkan perubahan warna kulit yang dikenal sebagai tanning. Pigmen melanin yang dibentuk dapat menyebabkan warna merah (phenomelanin) dan hitam (eumelanin) (Depkes RI, 1985). Efek radiasi UV dapat terjadi pada panjang gelombang 200-400 nm yang menimbulkan reaksi kulit yaitu eritema (sunburn) dan pigmentasi (tanning) yang selanjutnya dapat menyebabkan ketuaan dini pada kulit atau bahkan kanker kulit.
4. Perlindungan Senyawa Tabir Surya Terhadap Radiasi Sinar Ultraviolet
Secara alamiah kulit manusia memiliki sistem perlindungan terhadap radiasi sinar ultraviolet, yakni dengan penebalan stratum corneum, pengeluaran keringat, dan pigmentasi kulit. Namun jika terjadi kontak berlebihan dibutuhkan perlindungan kulit baik secara fisik dan secara kimia. Karena keterbatasan kulit untuk melawan efek negatif dari radiasi sinar UV tersebut, maka dibutuhkan perlindungan secara kimia yaitu dengan menggunakan senyawa tabir surya (Kreps, 1972) .
Perlindungan total terhadap radiasi sinar ultraviolet dapat menggunakan pelindung yang mampu menahan radiasi UV A dan UV B dengan senyawa tabir surya. Pelindung yang berfungsi untuk menahan radiasi itu disebut dengan jenis sunblock, sedangkan berfungsi menahan radiasi ultraviolet disebut dengan suntan (Tanjung, 1999).
Menurut Tanjung, 1999, senyawa tabir surya berdasarkan mekanisme kerja sebagai pelindung terhadap radiasi UV dibedakan menjadi dua. Pertama, sebagai pengeblok fisik, secara fisik senyawa tabir surya dapat memantulkan dan menghamburkan radiasi UV. Selain itu juga bekerja dengan membentuk konjugat bahan penyerap untuk mencapai nilai Sun Protection Factor (SPF) yang tinggi. Senyawa yang mempunyai mekanisme kerja seperti di atas misalnya titanium dioksida dan seng oksida. Senyawa-senyawa tersebut memerlukan konsentrasi yang sangat tinggi (10%-100%) untuk mencapai efek yang diinginkan (Setianingrum, 1992; Shaath, 1986). Kedua, sebagai penyerap kimia, senyawa-senyawa tabir surya yang dapat menyerap radiasi UVA dan UVB dan mengubahnya ke bentuk lain yang mempunyai energi lebih rendah. Penyerap UV A adalah senyawa yang cenderung menyerap radiasi pada spektrum UV pada panjang gelombang antara 320-400 nm, yang termasuk penyerap UVA ini adalah turunan benzophenon (oksibenson, dibensoilmetan), antranilat dan dibenzilmetan. Sedangkan penyerap UV B adalah senyawa yang menyerap radiasi pada λ = 290-320 nm, dan yang termasuk penyerap UVB adalah turunan para amino benzoic acid (PABA) misalnya oktil dimetil PABA, turunan salisilat, turunan kamfer, dan turunan sinamat (sinoksat, 2-etil heksil p-metoksisinamat) (Setianingrum, 1992; Shaath, 1990).
5. Tinjauan Senyawa Tabir Surya 2-Etil Heksil p-Metoksisinamat
2-etil heksil p-metoksisinamat merupakan salah satu senyawa tabir surya yang disintesis dari etil p-metoksisinamat dengan 2-etil heksil alkohol. 2-etil heksil p-metoksisinamat berupa cairan jernih menyerupai minyak, tidak berbau, dan berwarna kuning pucat. Senyawa ini larut dalam etanol, isopropanol dan isopropil miristat, senyawa ini tidak larut dalam gliserin dan propilenglikol. 2-etil heksil p-metoksisinamat memiliki rumus molekul C18H26O3 dengan berat molekul 290,4. Titik didihnya sekitar 198-200o C. Bentuk struktur molekul sebagai berikut:
Gambar 3. Struktur molekul 2-etil heksil p-metoksisinamat (Hidajati,1997).
B. Tinjauan tentang Bentonit
1. Tinjauan Umum Bentonit
Bentonit adalah lempung yang mengandung mineral monmorilonit, yang terbentuk karena proses diagenetik (pelapukan dan transformasi) abu gunung api yang bersifat asam dan berkomposisi riolitik. Proses pelapukan jika laju aliran air lebih cepat dari pelarutan yang terjadi, maka akan terbentuk gibsit [Al(OH)3] dari feldspar. Jika laju aliran semakin rendah, maka dari felspar tersebut akan terbentuk kaolinit Al2SiO2O5(OH)4, sedangkan bila laju aliran terhenti biasanya didalam cekungan, suatu reaksi yang lambat akan terjadi antara kation dengan Al(OH)3 dan silika membentuk monmorilonit Al2O3.4SiO2.2H2O (Labaik, 1999). Pada umumnya bentonit mempunyai sifat kilap seperti lilin, lunak, plastis, warna putih pucat- hijau muda– kelabu– merah muda sewaktu segar dan menjadi krem bila sudah lapuk yang kemudian berubah menjadi kuning, merah atau coklat.
Bentonit yang memiliki rumus kimia Al2O3.4SiO2. H2O merupakan sejenis lempung plastis yang mempunyai kandungan mineral monmorilonit lebih dari 85%. Bentonit yang mengandung mineral monmorilonit memiliki kualitas komersial dengan perluasan liat 2:1 dengan kapasitas pertukaran ion yang tinggi. Bentonit bersifat lunak, dengan kekerasan 1 pada skala Mohs, memiliki berat jenis antara 1,7–2,7 g/ml, mudah pecah, terasa berlemak, mempunyai sifat mengembang dan membentuk gel apabila ditambahkan air (Balitbang-Sumut, 2005).
Monmorilonit mempunyai struktur yang tersusun oleh dua layer tetrahedral silika dengan sebuah pusat struktur berupa oktahedral alumina. Layer-layer tetrahedral dan oktahedral berkombinasi sehingga ujung-ujung tetrahedral tiap-tiap lembar silika atau satu lapisan hidroksil lembar oktahedral membentuk suatu lapisan. Dalam strukturnya terdapat molekul air yang dapat dimasuki posisi antar lapisannya. Hal ini menunjukkan bahwa kisi-kisinya juga dapat terisi oleh kation-kation. Hal ini yang membedakan monmorilonit dengan yang lainnya (Balitbang-Sumut, 2005).
Gambar 4. Serbuk dan lempung bentonit (www.tekmira.esdm.go.id).
2. Penggolongan Bentonit
Bentonit digolongkan menjadi dua bagian berdasarkan mineral lempung penyusun utamanya, yaitu:
a). Na-bentonit - Swelling bentonite
Disebut dengan tipe Wyoming, mengandung ion Na+ relatif lebih banyak jika dibandingkan dengan ion (Ca2+ dan Mg2+) karena mineral penyusun utama lempung ini adalah ion Na+. Mempunyai sifat mengembang jika dicelupkan dalam air hingga 8 kali lipat dari volume semula. Adanya kation Na+ menyebabkan lempung dapat mengembang apabila dicelupkan ke dalam air dan membentuk koloid. Selain kation Na+, juga terdapat Ca2+, Mg2+, dan H+ yang mudah tertukar. Kandungan Na2O dalam Na-bentonit umumnya lebih besar dari 2%. Bentuk fisik dari Na-bentonit ini jika dalam keadaan kering berwarna putih atau krem, dalam keadaan basah akan mengkilap saat terkena sinar matahari. Posisi pertukaran ion utama diduduki oleh ion Na. (Labaik, 2006)
b). Ca-bentonit (non swelling bentonite)
Mengandung kalsium (K2O) dan magnesium (MgO) lebih banyak dibanding dengan natriumnya, karena mineral penyusun utama lempung ini adalah ion Ca2+ dan Mg2+. Mempunyai sifat sedikit menyerap air sehingga jika didipersikan dalam air akan cepat mengendap. Daya tukar ion (KTK) cukup besar dan bersifat menyerap. Fisiknya dalam keadaan kering berwarna abu-abu, biru, kuning, merah, dan coklat. Posisi pertukaran ion utama diduduki oleh ion Ca dan Mg. (Balitbang-Sumut, 2005; Distam-propsu, 2004; Labaik, 2006).
3. Struktur Bentonit
Struktur bentonit ditentukan dari struktur mineral penyusun utamanya, yaitu monmorilonit. Patrikel lempung inter susun dalam bentuk lapis-lapis paralel yang teratur satu dengan lainnya (Wigati, 1998).
Menurut Wigati (1998) Struktur mineral monmorilonit dikemukakan oleh Hofmann, Endell dan Wilm dan disempurnakan oleh Maegdefrau, Hofmann, Marshall, dan Hendricks berupa unit-unit yang terdiri dari dua lembar tetrahedral silika dan satu lembar oktahedral alumina pada posisi tengahnya. Kedua lembar tetrahedral memiliki arah yang sama yaitu ke arah oktahedral sebagai pusat unit. Dua lembar tetrahedral dan satu lembar oktahedral ini akan membentuk satu kesatuan unit lapisan. Dalam tumpukan silika-alumina-silika, atom oksigen dan hidroksil terdapat di sela-sela tumpukan tersebut sebagai penghubung serta terdapat pada kedua permukaan sistem. Dalam partikel lempung unit-unit lapisan tersebut bertumpuk secara paralel yang menghasilkan ruang antar lapis yang disebut ruang interlamellar. Dalam ruang interlamellar, air dapat masuk sehingga mineral montmorilonit mempunyai kemampuan mengembang yang tinggi.
Umumnya mineral lempung tersusun dari dua jenis struktur atom, jenis itu merupakan satu kesatuan dari atom-atom yang berkaitan membentuk struktur tertentu. Pertama, merupakan unit alumina yang tertutup oleh oksigen atau hidroksil. Diantara atom alumina tersebut terdapat 6 atom oksigen atau hidroksil pada posisi jarak yang sama terdiri dari 2 lembaran oksigen yang rapat atau hidroksil dari aluminium, besi atau magnesium yang berhimpit dalam susunan oktahedral. Oleh karena itu akan terbentuk jarak yang sama dari keenam atom oksigen atau hidroksil tersebut. Jika dalam struktur tersebut terdapat aluminium, maka hanya dua pertiga posisi yang mungkin terisi untuk mencapai kesetimbangan struktur dan struktur tersebut sebagai struktur gibsit dengan rumus Al2(OH)6. Dan jika dalam struktur tersebut terdapat magnesium, maka seluruh posisi akan terisi untuk mendapatkan kesetimbangan, struktur tersebut disebut struktur brusit dengan rumus kimia Mg3(OH)6. Jenis kesatuan yang kedua tersusun oleh tetrahedral silika. Sebuah atom silika tetrahedral mempunyai jarak yang sama dengan keempat atom oksigen sehingga susunan dari sebuah tetrahedron akan teratur untuk membentuk jaringan heksagonal berbentuk lembaran dengan komposisi kimia Si4O6(OH)4 (Balitbang-Sumut, 2005).
3 O
2 Si Tetrahedral
O – OH – O
Oktahedral 2 Al
O – OH – O
2 Si Tetrahedral
3 O
Gambar 5. Struktur monmorilonit (Inam, 2005).
4. Sifat Bentonit
Luas permukan bentonit dinyatakan dalam jumlah luas permukan kristal atau butir kristal bentonit yang berbentuk tepung setiap gram berat (m2/gram). Semakin besar luas permukaan maka semakin besar pula zat-zat yang terbawa atau melekat pada bentonit sehingga sifat ini dimanfaatkan sebagai bahan pembawa (carrier) dalam insektisida dan pestisida serta sebagai pengisi dalam industri kertas dan bahan pengembangan industri makanan dan plastik.
Monmorilonit disebut juga dengan smektit dengan rumus teoritik (OH)4Si8Al4O20.nH2O, molekul air menempati ruang antar lapis. Rumus molekul smektit pada umumnya berbeda dengan rumus teoritiknya. Hal ini disebabkan oleh adanya substitusi aluminium atau fosfor dengan valensi tiga terhadap silikon dengan valensi empat pada lembar tetrahedral silika. Sedangkan pada lembar oktahedral alumina, aluminium dengan valensi tiga digantikan oleh atom dengan valensi dua misalnya magnesium, seng, nikel, litium, dan sebagainya. Peristiwa tersebut dikenal dengan substitusi isomorfis.
Distribusi muatan secara teoritik tanpa melihat substitusi kisi pada lapisan dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 1. Distribusi muatan monmorilonit
Atom | Muatan |
6 O2- 4 Si4+ 4 O2- 2 (OH)- 4 Al3+ 4 O2- 2 (OH)- 4 Si4+ 6 O2- | 12 16 10 12 10 16 12 |
(Sumber: Grim, 1968)
Penggantian atom valensi positif tinggi dengan atom valensi lebih rendah mengakibatkan terjadinya kekurangan muatan positif yang berarti terjadi kelebihan muatan negatif. Kelebihan muatan negatif pada lapisan ini menyebabkan adanya adsorpsi permukaan lapisan terhadap kation. Terjadinya dissosiasi dari gugus hidroksil juga menyebabkan terjadinya muatan pada permukaan monmorilonit. Adanya gugus OH pada tepi kristal atau bidang terbuka juga menyebabkan adanya muatan negatif pada permukaan. Muatan yang ada dapat disetimbangkan dengan adsorpsi kation yang masuk ke dalam ruang interlamellar. Kation-kation tersebut mempunyai sifat dapat dipertukarkan dengan kation lain. Kation dengan valensi lebih besar diadsorpsi lebih kuat dan lebih efisien daripada kation dengan valensi lebih rendah. Hal ini tidak berlaku bagi ion hidrogen dengan sifat hidrasi yang tidak tentu.
Masuknya kation akan menyebabkan solvasi atau hidrasi pada monmorilonit. Solvasi ini akan mempengaruhi jumlah molekul air yang teradsorpsi dalam ruang interlamellar. Pada ruang ini air akan terorientasi melalui ikatan hidrogen. Satu hidrogen dari molekul air berikatan secara vertikal dengan oksigen yang terdapat pada permukaan lempung. Sedang hidrogen lainnya akan berikatan secara horizontal dengan oksigen dari molekul air yang lain (Wigati, 1998).
Pada umumnya penggunaan lempung lebih mengutamakan sifat fisiknya. Sifat fisik yang paling utama ialah derajat plastisitasnya, daya serap, daya pembersih, daya mengembang, warna, kecerahan, serta ukuran butir. Namun, bukan berarti komposisi kimia tidak penting sebab dalam beberapa hal sifat fisik di pengaruhi oleh sifat kimianya.
Sifat umum bentonit antara lain:
1). Berkilap lilin, umumnya lunak dan plastis.
2). Berwarna pucat dengan kenampakan putih, hijau muda, kelabu, merah muda dalam keadaan segar dan menjadi krem bila lapuk yang kemudian berubah menjadi kuning, merah coklat serta hitam.
3). Bila diraba terasa licin seperti sabun.
4). Bila dimasukan ke dalam air akan menyerap air.
5). Bila kena hujan singkapan bentonit berubah menjadi bubur dan bila kering menimbulkan rekahan yang nyata.
5. Spesifikasi Bentonit dalam Industri Kosmetik
a) Spesifikasi fisika
· Bentuk butir: serbuk halus
· Warna: putih kekuning-kuningan
· Kandungan air dalam bentonit: <>
b) Spesifikasi kimia
· pH netral yaitu 7
· Kekuatan mengembang: 20-30ml (Distamben-Jabar, 2005; Distam-Propsu, 2004).
C. Titanium (Ti)
Titanium (Ti) merupakan salah satu kation hidroksi logam polinuklir yang digunakan sebagai agen pemilar. Titanium adalah unsur terbanyak ke-sembilan di kerak bumi dan terdistribusi secara luas. Titanium tidak terdapat dalam bentuk logam statis di alam, tetapi dalam bentuk mineral yang stabil karena afinitas titanium terhadap oksigen dan unsur lain sangat besar. Bentuk umum mineral titanium adalah ilmenite dan rutile dalam bentuk titanium dioksida.
Unsur titanium ditemukan oleh Reverend William Gregor pada tahun 1790 dan bentuk pure titanium pertama kali diproduksi pada tahun 1910.
Secara klinis, ada dua bentuk titanium yaitu:
a) Murni.
Titanium murni adalah logam putih, lustrous dengan sifat densitas rendah, kekuatan tinggi, dan daya tahan terhadap korosi yang sangat baik.
b) Alloy titanium (6% aluminium- 4% vanadium).
Alloy ini mempunyai kekuatan yang lebih besar dari titanium murni. Sifat-sifat alloy antara lain; densitas rendah, daya tarik yang besar (500 MPa), dan tahan terhadap temperatur tinggi, sehingga alloy biasa dipakai dalam industri kapal terbang (Goenharto,2005).
Titanium merupakan logam transisi yang ringan, kuat, tahan korosi, tahan terhadap air laut dan klorin serta berwarna putih-metalik-keperakan. Titanium murni tidak dapat larut dalam air tetapi larut dalam asam pekat. Titanium tahan terhadap asam sulfat, gas klorin, larutan klorida, dan kebanyakan asam organik. Logam ini, dapat terbakar apabila dipanaskan dalam udara bersuhu 610°C atau lebih (membentuk titanium dioksida), dan terbakar dalam gas nitrogen murni (terbakar pada 800°C dan membentuk titanium nitrida) (www.wikipedia.org).
Titanium merupakan elemen yang tidak bersifat merusak dan memiliki kemampuan bertahan pada suhu yang tinggi. Toksisitas titanium sangat rendah dan dapat ditoleransi oleh tulang dan jaringan lunak serta tidak menyebabkan hipersensitifitas (Goenharto,2005).
D. Pilarisasi Bentonit dengan Ion Ti4+
Bentonit merupakan material alam yang memiliki kemampuan menyerap ion logam dan molekul organik dari dalam sistem larutan. Bentonit memiliki struktur berbentuk lapisan-lapisan bertumpuk (layer) sehingga dapat mengembang dan mengempis (swelling) jika menyerap dan melepas molekul air atau molekul organik lainnya. Oleh sebab itu kemampuan adsorpsi bentonit tidak optimal, terutama sifat selektivitas terhadap molekul yang diserap. Untuk meningkatkan kemampuan adsorpsi bentonit diperlukan proses pilarisasi.
Pilarisasi dapat dilakukan dengan menginterkalasikan polikation hidroksi terhadap lempung. Selanjutnya dikalsinasi pada suhu tertentu sehingga membentuk pilar-pilar oksida logam. Kation-kation yang dapat digunakan sebagai agen pemilar, antara lain ion-ion alkil ammonium, kation amina bisiklis, dan beberapa kation kompleks seperti kelat serta kation hidroksi logam polinuklir seperti Al, Zr, Fe, Ti, dan lain-lain. Bentonit terpilar memiliki beberapa kelebihan, antara lain stabilitas termal yang lebih tinggi serta volume pori dan luas permukaan yang lebih besar. Adanya sifat unggul dari bentonit terpilar menjadikan material tersebut potensial untuk digunakan sebagai adsorben (Sunarso, 2007).
Dengan adanya pilar yang terbentuk pada struktur lapisan bentonit, maka struktur bentonit menjadi stabil dan tidak mudah mengalami swelling. Adanya proses pilarisasi juga dapat memodifikasi ukuran pori bentonit dari ukuran mikro menjadi meso, pori-pori ini berfungsi untuk meningkatkan luas permukaan bentonit dan terbentuknya situs aktif adsorpsi. Dengan adanya modifikasi struktur bentonit tersebut maka kemampuan adsorpsi dan selektivitasnya menjadi lebih baik dari keadaan semula (Budhyantoro, 2003). Kemampuan adsorpsi bentonit terpilar terhadap ion logam, molekul zat warna, dan molekul organik lainnya sangat tergantung pada ukuran pori yang terbentuk pada saat pilarisasi. Semakin besar ukuran pori bentonit maka kemampuan untuk mengadsorb molekul organik akan semakin besar.
E. Tinjauan tentang Adsorpsi Senyawa Tabir Surya 2-Etil Heksil p-Metoksisinamat oleh Bentonit Terpilar Ti4+.
Adsorpsi adalah suatu fenomena permukaan dimana satu atau lebih unsur-unsur pokok dari suatu larutan fluida akan lebih terkonsentrasi pada permukaan suatu padatan tertentu (adsorben). Dengan cara ini, komponen-komponen dari suatu larutan dapat dipisahkan satu sama lain. Adsorpsi melibatkan proses perpindahan massa dan menghasilkan kesetimbangan distribusi dari satu atau lebih larutan antara fasa cair dan partikel. Fasa penyerap disebut sebagai adsorben, sedangkan fasa yang diserap disebut adsorbat (Maghza, 2007). Faktor yang menentukan kinerja adsorpsi adalah fasa kesetimbangan antara cairan dan fasa yang diserap oleh satu atau lebih komponen.
Proses adsorpsi merupakan suatu proses dasar dari pertukaran tempat dimana zat yang diserap pada permukaan lempung secara langsung dan proporsional terhadap jumlah lempung yang ada. Bentonit mempunyai kemampuan mengadsorpsi karena sifat koloid dari ukuran butir bentonit sangat kecil (halus) dan kapasitas pertukaran ionnya tinggi. Ketidakseimbangan muatan listrik dalam bentuk ion dan adanya pertukaran ion menyebabkan bentonit memiliki daya serap yang tinggi. Daya serap terjadi pada ujung dan permukaan kristal serta ruang interlamellar (layer). Dalam keadaan awal bentonit memiliki kemampuan adsorpsi yang rendah tetapi melalui aktivasi atau pilarisasi, daya adsorpsinya meningkat.
Adsorbat memiliki ukuran yang lebih kecil daripada adsorben. Adsorben dalam penelitian ini adalah bentonit terpilar Ti4+ sedangkan adsorbatnya adalah 2-etil heksil p-metoksisinamat. Bentonit merupakan adsorben organik yang memiliki ukuran pori meso (mesoporous adsorbents) yaitu 1-25 nm (Onal, 2001).
F. Tinjauan tentang Kestabilan Senyawa Tabir Surya 2-Etil Heksil p-Metoksisinamat dalam Bentonit Terpilar Ti4+.
Kestabilan senyawa tabir surya dapat mengalami penurunan oleh serangan molekul air sehingga diperlukan suatu matriks berpori dan kedap air yaitu bentonit terpilar Ti4+. Bentonit terpilar Ti4+ akan mengisolasi senyawa tabir surya 2-etil heksil p-metoksisinamat dari serangan molekul air sehingga aktivitas senyawa tabir surya dapat bertahan dalam jangka waktu yang lebih lama. Penurunan kestabilan senyawa tabir surya ditandai oleh adanya hidrolisis ester menjadi asam. Hidrolisis ini dapat diketahui dari perubahan spektra inframerah, yaitu adanya serapan C=O yang khas dan juga menunjukkan pita O-H yang sangat terbedakan dalam panjang gelombang antara 3000-3500 cm-1.
G. Pengukuran Kestabilan Senyawa Tabir Surya 2-Etil Heksil p-Metoksisinamat dalam Bentonit Terpilar Ti4+.
Efektifitas senyawa tabir surya dapat dinyatakan dalam beberapa cara antara lain kadar zat aktif yang terkandung, persentase transmisi eritrema, dan pigmentasi serta faktor perlindungan sinar baik secara in vivo maupun in vitro. Penentuan secara in vitro diperoleh dari pengukuran nilai serapan pada panjang gelombang UV. Kestabilan senyawa tabir surya diukur dari lama bertahannya aktifitas tabir surya dalam menerima serangan tetesan larutan NaCl 0,01 M. Pengujian disesuaikan dengan adanya perubahan spektrum inframerah yang dihasilkan. Apabila terdapat serapan C=O yang khas dan juga menunjukkan pita O-H yang sangat terbedakan pada bilangan gelombang 3000-3500 cm-1 maka pengujian dapat dihentikan. Hal tersebut dikarenakan telah terjadi hidrolisis ester menjadi asam, yang dapat mengindikasikan bahwa ester senyawa tabir surya mengalami penurunan kestabilan.
H. Tinjauan tentang Spektroskopi
1. Spektroskopi UV-Vis
Pada metode ini cahaya yang diserap bukan hanya cahaya tampak tapi cahaya dari ultraviolet (UV). Dengan cara ini larutan tidak berwarna juga dapat diukur, misalnya aseton dan asetaldehid. Pada spektroskopi UV ini, energi cahaya terserap digunakan untuk transisi elektron (electronic transition) (Hendayana, 1994). Apabila pada molekul tersebut dikenakan radiasi elektron magnetik maka akan terjadi eksitasi elektron ke tingkat energi yang lebih tinggi yang dikenal sebagai orbital elektron ”antibonding”. Pada senyawa organik dikenal pula gugus auksokrom yang merupakan gugus fungsional yang mempunyai elektron bebas seperti –OH; -O; -NH2; -OCH3 yang memberikan transisi elektron. Terikatnya gugus auksokrom oleh gugus kromofor akan mengakibatkan pergeseran pita absorpsi menuju ke panjang gelombang yang lebih panjang disertai peningkatan intensitas (Mulja, 1995).
a) Pemilihan pelarut
Pelarut yang dipakai pada spektrofotometer UV-Vis harus mempunyai sifat tidak mengabsorpsi cahaya pada panjang gelombang yang sama pada pengukuran sampel. Mulja (1995) menyebutkan syarat-syarat untuk pelarut tersebut, antara lain:
1) Tidak mengandung sistem terkonjugasi pada struktur molekulnya dan tidak berwarna.
2) Tidak berinteraksi dengan molekul yang dianalisa
3) Harus mempunyai kemurnian yang tinggi
Pada umumnya pelarut yang sering dipakai dalam analisa spektrofotometer UV-Vis adalah air, etanol, siklo-heksana, dan isopropanol. Kepolaritasan pelarut juga perlu diperhatikan karena dapat mempengaruhi pergeseran spektrum molekul yang dianalisa.
b) Komponen spektrofotometer UV-Vis
Suatu spektrofotometer tersusun dari sumber spektrum tampak, monokromator, sel pengabsorpsi larutan sampel dan blanko (kuvet), dan alat pengukur perbedaan absorpsi antara sampel dengan blanko (Khopkar, 2002).
1) Sumber
Sumber yang biasanya digunakan pada spektrofotometer absorpsi adalah lampu wolfram, dan lampu lain seperti lampu hidrogen atau lampu deuterium yang digunakan untuk sumber pada daerah UV. Kelebihan dari lampu deuterium yaitu dapat dipakai pada daerah panjang gelombang 190 nm sampai 380 nm, karena pada rentang panjang gelombang tersebut sumber radiasi deuterium memberikan spektrum energi radiasi yang lurus. Pada analisa 2-etil heksil p-metoksisinamat dengan spektrofotometer UV-Vis digunakan lampu deuterium.
2) Monokromator
Monokromator merupakan alat yang digunakan untuk mendapatkan sumber sinar yang monokromatis. Alat ini berbentuk prisma atau grating. Sistem kerja dari monokromator adalah memfokuskan radiasi dari sumber ke celah masuk, kemudian disejajarkan oleh lensa atau cermin sehingga berkas sejajar jatuh pada unsur pendispersi (berupa prisma atau grating).
3) Sel pengabsorpsi
Sel pengabsorpsi atau dikenal dengan nama kuvet adalah wadah dari larutan yang diamati, kuvet ini biasannya terbuat dari leburan silika (dipakai pada pengukuran daerah UV) atau gelas, dengan bentuk tabung empat persegi panjang 1x1 cm2 dengan tinggi ± 5 cm. Sel pengabsorpsi yang biasa digunakan berbentuk persegi, selain ada bentuk lain (silinder).
4) Detektor
Detektor penerima berperan memberikan respon terhadap cahaya pada berbagai panjang gelombang. Spektrofotometer UV-Vis menggunakan detektor fotolistrik, yang paling sederhana adalah tabung foton. Tabung ini berupa tabung hampa udara dengan lubang tembus cahaya yang berisi sepasang elektroda.
c) Cara kerja
Cara kerja spektrofotometer secara singkat adalah sebagai berikut. Menempatkan larutan pembanding, misalnya blanko dalam sel pertama sedangkan larutan yang akan dianalisa pada sel kedua. Kemudian memilih fotosel yang cocok, misalnya 200-650 nm agar daerah panjang gelombang yang diperlukan dapat teramati. Mengemisikan sinar yang bersal dari sumber (lampu deuterium atau lampu wolfram) sehingga melewati sel sampel dan blanko. Pada dasarnya prinsip dari alat spektrofotometer adalah membandingkan cuplikan dan standart, dalam hal ini standart yang digunakan adalah pelarut sampel. Dari penelitian ini akan diperoleh grafik hasil spektrofotometer yang menunjukkan hubungan tranmitansi dan panjang gelombang (λ).
Analisa kualitatif dengan spektrofotometer UV-Vis ini hanya digunakan untuk data pendukung. Dengan metode ini dapat ditentukan kemurnian senyawa dan penentuan panjang gelombang maksimal (lmaks).
2. Spektroskopi Inframerah (IR)
Spektrofotometer inframerah (IR) digunakan untuk mengukur resapan radiasi inframerah pada berbagai panjang gelombang senyawa organik, yang merekam secara otomatis. Sumber radiasi inframerah dipancarkan oleh padatan lembam yang dipanaskan sampai pijar dengan aliran listrik (Mulja, 1995). Oleh karena itu, sinar inframerah mempunyai energi yang lebih rendah dari sinar UV atau sinar tampak, maka tebal sel yang dipakai pada spektrofotometer lebih tipis daripada untuk spektrofotometer lainnya (Hendayana, 1994).
Oleh karena itu tidak ada pelarut yang sama sekali transparan terhadap sinar inframerah maka cuplikan dapat diukur sebagai padatan atau cairan murninya. Cuplikan padat digerus dengan mortar batu agate bersama kristal KBr kering dalam jumlah sedikit sekali. Campuran tersebut dipres di tempat daerah cuplikan.
Fungsi utama dari spektrofotometer inframerah adalah untuk mengenal struktur molekul, khususnya gugus seperti OH, C=C, dan lain-lain atau lebih tepatnya spektrum inframerah suatu senyawa dapat melihat adanya potongan-potongan molekul dalam suatu molekul (Anwar, 1994).
Radiasi yang diserap oleh molekul seperti –OH dan -NH pada daerah 3000-3700 cm-1, C-C aromatik terdapat pada daerah 1450-1600 cm-1, C=O pada daerah 1705-1750 cm-1, C-H aromatik menghasilkan puncak pada panjang gelombang 3000-3100 cm-1 disertai dengan keluarnya overtone pada panjang gelombang 2000-1650 cm-1 (Fessenden, 1990).
Komponen dasar spektrofotometer inframerah (IR) hampir sama dengan spektrofotometer UV-Vis, tetapi sumber, detektor, dan komponen optiknya sedikit berbeda. Bagian-bagian pokok dari spektrofotometer inframerah adalah sumber, daerah cuplikan, monokromator, dan detektor.
a) Sumber
Sumber radiasi inframerah dihasilkan sebuah sumber yang dipanaskan seperti Nernst atau lampu glower pada suhu 1500-2000oC dan akan memberikan radiasi di atas 7000 cm-1.
b) Daerah cuplikan
Berkas acuan dan berkas cuplikan masing-masing masuk ke daerah cuplikan dan menembus sel acuan dan sel cuplikan. Daerah cuplikan suatu spektrofotometer memiliki berbagai daerah, dari sel gas yang panjangnya 40 m sampai ke sel mikro.
c) Monokromator
Bahan yang digunakan untuk membuat monokromtor spektrofotometer inframerah ada berbagai macam, misalnya prisma dan celah yang terbuat dari gelas, lelehan silika, LiF, CaF2, BaF2, NaCl, KBr, AgCl, CsI. Umumnya prisma yang digunakan terbuat dari NaCl karena hanya transparan di bawah 625 cm-1. Sedangkan halida ion lainnya harus digunakan pada frekuensi yang rendah misalnya KBr untuk 400 cm-1.
d) Detektor
Detektor pada daerah inframerah yang banyak digunakan untuk detektor termal. Dua detektor termal yang sering digunakan adalah termokopel dan bolometer.
I. Tinjauan tentang Instrumen Penelitian
1. Analisis Pilarisasi Bentonit dengan Ion Ti4+
Analisis pilarisasi bentonit dengan ion Ti4+ dilakukan dengan spektrofotometer UV-Visible. Spektrofotometer merupakan suatu metode pengukuran yang didasarkan pada penyerapan berkas cahaya pada panjang gelombang tertentu. Metode ini sederhana, mempunyai kepekaan dan ketelitian tinggi serta banyak digunakan secara luas. Spektrofotometri UV-Vis adalah suatu metode analisis spektroskopik yang memakai sumber radiasi elektromagnetik ultraviolet dan sinar tampak. Spektrofotometer UV-Vis melibatkan energi elektronik yang cukup besar pada molekul yang dianalisis sehingga spektrofotometer UV-Vis lebih banyak digunakan untuk analisis kualitatif dan kuantitatif secara organik maupun anorganik. Pada analisis kualitatif hanya dipakai untuk data sekunder (data pendukung), yaitu menentukan panjang gelombang maksimum (λmaks) dari suatu zat. Teknik spektroskopi ini didasarkan pada pengukuran adsorpsi atau emisi radiasi elektromagnetik (Day, 1986).
Pada spektrofotometri UV-Vis radiasi sinar ultraviolet dan sinar tampak dari molekul menyebabkan terjadinya perubahan energi elektronik. Oleh sebab itu, spektra ultraviolet dan sinar tampak disebut spektra elektronik. Penyerapan energi menyebabkan perpindahan elektron dari orbital tingkat dasar ke orbital yang berenergi lebih tinggi dalam keadaan tereksitasi (Fessenden dan Fessenden, 1990). Molekul akan bersifat selektif terhadap radiasi elektromagnetik, hanya molekul yang mempunyai ikatan rangkap terkonjugasi dan mempunyai gugus kromofor yang terikat dengan auksokrom, yang dapat dianalisis dengan metode spektrofotometri UV.
Transisi pada daerah UV-Vis terjadi pada daerah spektrum sekitar 200-750 nm. Daerah tampak berada pada daerah 400-750 nm dari merah sampai ungu muda. Daerah UV berada pada daerah 200-400 nm (Day, 1986). Daerah spektrum untuk pengukuran bentonit terpilarisasi dianalisis menggunakan spektrofotometer UV-Vis. Hasil serapan UV-Vis menunjukkan nilai absorbansi pada panjang gelombang tertentu. Pada berbagai suhu kalsinasi, bentonit terpilar Ti4+ akan menunjukkan serapan UV yang berbeda-beda. Makin tinggi suhu kalsinasi maka panjang gelombang sinar UV yang terserap oleh bentonit terpilar Ti4+ mengalami pergeseran ke arah gelombang pendek. Serapan pada suhu tertentu akan disesuaikan dengan serapan UV-Vis senyawa tabir surya 2-etil heksil p-metoksisinamat yaitu antara 308-309 nm sehingga keduanya dapat saling berinteraksi.
2. Analisis Kestabilan Senyawa Tabir Surya 2-Etil Heksil p-Metoksisinamat dalam Bentonit Terpilar Ti4+.
Kestabilan senyawa tabir surya 2-etil heksil p-metoksisinamat dapat diketahui dari pengujian terhadap serangan molekul air. Analisis ini menggunakan hasil spektra dari spektrofotometer inframerah (IR). Spektrofotometer IR adalah instrumen yang digunakan untuk mengukur resapan radiasi infra merah pada berbagai panjang gelombang. Spektrofotometer IR digunakan untuk mengidentifikasi golongan senyawa, gugus fungsi, dan juga tipe substitusi pada senyawa aromatik.
Konsep radiasi inframerah diajukan pertama kali oleh Sir William Herchel pada tahun 1880 melalui percobaannya mendeskripsikan radiasi matahari dengan prisma. Ternyata pada daerah sesudah sinar merah menunjukkan adanya kenaikan temperatur tertinggi yang berarti pada daerah panjang gelombang radiasi banyak mengandung kalori (energi tinggi). Daerah tersebut selanjutnya disebut dengan inframerah (Mulja, 1995)
Berdasarkan pembagian daerah panjang gelombang pada sinar infra merah dibagi atas tiga daerah, yaitu:
1) Daerah infra merah dekat (λ kurang dari 650 cm-1).
2) Daerah infra merah pertengahan (λ = 650-4000 cm-1)
3) Daerah infra merah jauh (λ lebih dari 4000 cm-1)
Analisis senyawa dengan spektrofotometer inframerah didasarkan pada vibrasi dari gugus fungsional dari suatu senyawa. Pada pengamatan spektrofotometer inframerah terdapat dua daerah absorpsi yaitu daerah finger print (900-1400 cm-1) dan wilayah gugus fungsi (650-900 cm-1). Pada daerah finger print terdapat banyak serapan yang tidak dapat ditelaah. Faktor yang mempengaruhi pengamatan adalah perubahan sifat ikatan, adanya ikatan hidrogen, dan pelarut yang dipakai (Fessenden dan Fessenden, 1990; Hardjono, 1991).
Senyawa ester memiliki dua pita serapan yang ditimbulkan oleh uluran C=O dan C-O. Getaran ulur C=O, pada pita alifatik jenuh terdapat pada daerah 1750-1735 cm-1, dan pita alifatik tak jenuh terdapat pada daerah 1730-1710 cm-1. Getaran ulur C-O terdiri dari dua getaran tak simetri yang terkopelkan yaitu C-C(=O)-O pada daerah 1210-1163 cm-1 dan O-C-C pada daerah 1300-1000 cm-1, sedangkan getaran simetrik kurang penting (Silverstein et al, 1986).
Pada gugus aromatis, getaran ulur C-H terdapat pada daerah 3100-3000 cm-1, dan getaran ulur C-C pada cincin aromatis terjadi pada daerah 1500-1400 cm-1. Gugus metoksi yang tersubstitusi pada cincin benzena (eter alkil aril) memberikan getaran ulur C-O-C pada daerah 1275-1200 cm-1. Pada rantai alifatis, getaran ulur C-H alifatis berada pada daerah 3000-2850 cm-1, getaran C-C alifatis pada 1600-1450 cm-1 dan getaran ulur C=C pada 1690-1600 cm-1 (Silverstein et al, 1986).
Penurunan kestabilan dapat diketahui dari hidrolisis ester menjadi asam karboksilat yang ditunjukkan melalui perubahan spektra inframerah. Asam karboksilat menunjukkan serapan C=O yang khas dan pita O-H sekitar 3000-3500 cm-1 dan miring ke dalam pita absorpsi CH alifatik, puncak yang kuat ditunjukkan pada bilangan gelombang 3330 cm-1 (Fessenden dan Fessenden, 1990).
J. Tinjauan tentang Pemurnian Kromatografi Lapis Tipis (KLT)
Substrat yang telah diperoleh dari hasil sintesis masih bercampur dengan alkohol yang berlebih, sehingga untuk memperoleh senyawa murni perlu dilakukan pemisahan dengan cara Kromatografi Lapis Tipis (KLT). Pemurnian yaitu suatu cara untuk menghilangkan bahan pengotor pada senyawa yang akan dimurnikan, sehingga senyawa tersebut murni/bersih dari bahan pengotor. Pemurnian biasanya dapat dilakukan dengan cara rekristalisasi, penguapan, bahkan kromatografi. Kemurnian suatu senyawa dapat juga dikaji dengan KLT. Dalam hal ini, senyawa dikromatografi pada berbagai kondisi dan konsentrasi (sampai batas kemampuan sistem). Jika pada KLT hanya terdapat satu puncak, maka senyawa tersebut dinyatakan murni secara kromatografi.
Kromatografi lapis tipis merupakan suatu teknik kromatografi dimana fase diamnya adalah adsorben dalam bentuk lapisan tipis, umumnya melekat pada kaca, plastik atau aluminium (Harwood, 1989). Mekanisme pemisahan yang terjadi pada kromatografi lapis tipis pada umumnya atas dasar adsorpsi, dimana setiap substansi yang terlarut dalam fase gerak jika melewati fase diam akan teradsorpsi dengan kekuatan yang berbeda sehingga terjadi pemisahan substansi dari campurannya. Karena pengaruh adsorpsi dari fase diam terhadap masing-masing substansi berbeda, maka pergerakannya juga berbeda. Besarnya hambatan dinyatakan dengan suatu harga Rf (Stahl, 1992).
Harga Rf ini diperoleh dengan membagi jarak yang ditempuh oleh bercak dengan jarak yang ditempuh oleh garis depan pelarut (Hostettman, 1985).
Rf